TopNews.Co.id – Penulis masyhur kelahiran Jakarta yang dijuluki orang sebagai pendekar pena, H Mahbub Djunaidi (1933-1995) memiliki kedekatan khusus dengan tokoh besar NU asal Situbondo, Jawa Timur, KHR. As’ad Syamsul Arifin, pengasuh pondok pesantren Salafiyah Syfi’iyah Asembagus. Lebih dari itu, Mahbub sepertinya ada ketaatan khusus kepada Kiai As’ad.
Dalam sebuah tulisannya yang dimuat mingguan Eskponenyang terbit di Yogyakarta, edisi 13-7 April 1985, ia menulis artikel berjudul ‘Lagi-lagi Situbondo’.
“Buat orang Bandung seperti saya, kota Situbondo itu jauhnya bukan alang-kepalang. Membayangkannya saja sudah ngos-ngosan. Bayangkan dari: Surabaya saja mesti naik mobil 200 km di alam yang gersang, sungguh bukan main. Kalau bukan perlu benar, tak bakalan rasanya cukup tenaga sampai ke situ. Awak sudah terkulai sebelum berangkat,” ungkapnya di paragraf pertama tulisan itu.
Di paragraf selanjutnya, Mahbub mengakui ia sudah puluhan kali untuk menemui Kiai As’ad.
“Seperti sudah puluhan kali saya alami, tanggal 18 Maret lalu saya dapat tilpun dari Kiai As’ad Syamsul Arifin disuruh datang menemui beliau, secepatnya. Dari Surabaya, dianjurkan lewat Jember, jemput Kiai Ahmad Shiddiq dan bawa ke Situbondo.”
Bagi Mahbub, telpon Kiai As’ad tersebut adalah perintah yang tak bisa dibantah. Karenanya, meskipun ngantuk, ia terbang ke Surabaya bersama seorang temannya, Syah Manaf. Sesampai di Jember, ia merasakan tubuhnya serasa digebukin. Saking ringseknya kelelahan. Maklum pada saat itu, Mahbub Djunaidi mengidap penyakit jantung setelah dua tahun dipenjara tanpa pengadilan bersama tokoh-tokoh lain, di antaranya Bung Tomo dan Ismail Suni. Pasal tuduhannya adalah subversif kepada pemerintahan Orde Baru.
Penulis novel Dari Hari ke Hari dan Angin Musim ini, dalam tulisan lain mengungkap sosok Mustasyar Aam PBNU tersebut. Dari caranya ia bercerita, tampak memiliki kedekatan tersendiri.
“Kepada saya, sang kiai ngobrol penuh jenaka tentang romantika masa mudanya. Kepada saya, kiai bicara perihal keadaan negara dan pikiran pemecahan masalah tingkat tinggi. Kepada saya, kiai mempersoalkan apa yang pernah ditulis Suzanne Keller dalam dia punya “Beyond the Rulling Class”-nya: pengelompokan elite golongan atas dengan segala akibatnya. Kepada saya, kiai menandaskan keblingeran Ayatullah Khomeini.”
Ungkapan Mahbub tersebut, menunjukkan horizon ilmu pengetahuan Kiai As’ad tidak hanya kitab kuning dan NU melulu, melainkan juga ilmu umum. Kiai As’ad mampu mengkritik tokoh-tokoh dunia waktu itu.
Lanjutan tulisan tersebut, dengan menunjukkan kehebatan Kiai As’ad, sekaligus mengkritik Sutan Takdir Alisyahbana (STA). Seperti diketahui, STA menolak fondasi pendidikan nasional berdasrakan dari pesantren, tapi seharusnya dari Barat. Pendapat STA berlawanan dengan tokoh-tokoh senior seperti Soetomo, Tjindarbumi, Adinegoro, Sanusi Pane, dan Ki Hajar Dewantara. Silang pendapat mereka diabadikan dalam Polemik Kebudayaan yang didokumentasikan Achdiat Kartamihardja.
Di sisi lain, tulisan Mahbub yang dimuat Tempo, 27 Februari 1982 ketika Orde Baru sedang giat-giatnya menganggap agama sebagai residu. Agama dalam hal ini, adalah kalangan Nahdliyin (pesantren). Kalangan penghambat dan beban pembangunan.
Dengan tulisan itu pula, Mahbub sepertinya ingin menunjukkan kepada Orba bahwa kalangan pesantren itu pemahamannya tidak bisa dikatakan penghambat pembangunan. Lihatlah Kiai As’ad dengan pemikirannya. Mahbub menunjukkan bukti tersebut:
“Dan kepada saya, Kiai As’ad Syamsul Arifin dari Situbondo ini memikirkan cara bagaimana menerapkan teknologi madya kaum nelayan sepanjang lor Jawa dan seantero Madura dengan pulau-pulau yang tak sanggup saya hafal namanya. Jika ada waktu luang, baik juga Prof. Sutan Takdir Alisyahbana bertukar pandangan dengan beliau seraya santap capcay di rumah makan turis Pasirputih,” ujar Mahbub pada tulisan ”Di Suatu Masa, Sebuah Persoalan” tersebut.
Hubungan Kiai As’ad dan Mahbub Djunaidi diakui Isfandiari, anak bungsu Mahbub. Kepada sebuah media online, Isfan menyampaikan kesaksian persentuhan ayahnya dengan kiai tersebut.
“Paling teringat saat bertemu kali pertama dengan Kiai As’ad Syamsul Arifin di Situbondo, kiai kharismatik yang berselera humor tinggi, juga toleran. Ia pernah mengajak saya ke “gubuknya” di sudut pesantren yang saat itu sudah megah. Kediamannya hanya terdiri atas dipan dan perabot seadanya. Sangat sederhana. Saat itu saya saksi hidup persahabatan ayah dengan Kiai As’ad,” katanya. (NU Online).